Bangsa Yang Hilang Adab

Menyikapi permasalahan bangsa dan Negara Indonesia akhir-akhir ini yang pada puncaknya adalah unjuk rasa massal di seluruh Indonesia, tentulah mengatasinya tidak bisa dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, ataupun dengan cara-cara yang tidak adil. Keadilan adalah hak semua warganegara yang hidup di Indonesia. Pemimpin dituntut supaya bertindak adil, karena sebelum dia menjadi pemimpin, dia adalah rakyat biasa yang juga menginginkan keadilan diperlakukan kepadanya. Bukan hanya itu, seorang pemimpin juga dituntut untuk beradab, menjaga lisannya dari hal-hal yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan rakyat atau bahkan dapat menyulut kerusuhan.

            Fenomena yang terjadi sekarang ini adalah, bahwa gejolak masyarakat Indonesia tak henti-hentinya terjadi di hampir semua sektor kehidupan. Krisis akhlah dan kesantunan, kriminalitas, kemiskinan, pengangguran hingga kepada krisis politik dan kepemimpinan.

            Saya teringat dengan syair pujangga yang bernama Abdullah Abdul Qadir al-Mursy, yang ditulis pada pertengahan abad 19. Begini syairnya :

Belalang menjadi burung elang,
Kutu menjadi kura-kura dan
Ular berubah menjadi naga.

Sekilas syairnya itu seperti bercerita tentang sebuah kejadian evolusi atau cerita tentang bim salabimnya tukang sulap. Tetapi sebenarnya tidak, ia sedang bicara tentang suatu perubahan yang aneh. Perubahan tentang bangsanya yang kehilangan adab.

Dalam perspektif ilmu biologi, si Mursyi tentu paham kalau belalang mustahil jadi burung elang, kutu jadi kura-kura dan ular menjadi naga. Ia juga paham mengapa Allah mengizinkan kepompong bisa jadi kupu-kupu yang cantik (Ia paham, jika Allah berkehendak “Jadi”, maka jadilah dia). Tapi, yang ia gelisahkan adalah mengapa hal ini bisa terjadi di dunia manusia.

            Semua orang berhak mencapai sukses, tapi mengapa sukses dicapai dengan mengorbankan moral. Akhirnya kita menjadi paham setelah membaca bait berikut yakni :

 Bahkan seorang yang hina dan bodoh
Dapat pandai dan terhormat jika memiliki harta
Sedangkan orang miskin tidak dipandang walaupun pandai dan terhormat.

Inilah tugas kita untuk menjawabnya. Dimana letak kesalahannya ? Telah hilangnya adab di setiap strata kehidupan rakyat Indonesia menurut saya adalah jawaban yang tepat. Begitu pentingnya adab tersebut, sehingga dalam Islam dikenal dengan “Adab lebih tinggi dari amal”.

Defenisi Adab.

Sebelum pembahasan lebih lanjut, perlu dijelaskan terlebih dahulu defenisi “adab”. Secara umum pengertian adab adalah norma atau aturan mengenai sopan santun yang didasarkan atas aturan agama, terutama agama Islam. Pengertian lain tentang adab adalah : Pertama, tingkah laku serta tutur kata yang halus (sopan), budi bahasa, budi pekerti yang halus, dan kesopanan. Kedua, cara seseorang berkelakuan dalam sesuatu situasi tertentu. Secara lahiriah dan batiniyah, defenisi adab ini tentunya berlaku.

Adab lebih tinggi dari Amal.

Dari defenisi diatas, adab itu bukanlah diperuntukkan bagi rakyat biasa saja, bukan juga untuk para pemimpin. Tetapi diperuntukkan bagi seluruh umat manusia tanpa kecuali. Bahwa dalam Islam dikenal dengan “Adab lebih tinggi dari amal” bukanlah berarti beramal ibadah itu memiliki nilai yang lebih rendah. Bukan itu maksudnya. Tidaklah berguna ibadah kita, walau mengerjakan sholat seribu rakaat sehari, berinfaq satu ton emas, namun perbuatan, tingkah laku dan lisan kita tidak terjaga dengan baik. Segala nama binatang keluar dari mulut kita, segala kata kotor terucapkan. Menganggap rendah para ulama, para ustadz dan orang-orang alim. Durhaka kepada orangtua, durhaka kepada guru, durhaka kepada Ulama, durhaka kepada Rasulullah dan akhirnya durhaka terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Masih bermanfaatkah amalan dan ibadah kita ?

Hal tersebut diatas masih bersifat lahiriah. Dalam hal kerohanian, adab juga lebih tinggi dari amal. Bahwa bisa jadi secara zahir memang nampak seseorang itu berkata baik, berbuat baik, beramal ibadah dengan baik, dan sebagainya. Namun didalam hatinya tersimpan sifat-sifat kedengkian, iri hati, sombong, angkuh, menganggap rendah ulama, menganggap enteng sunah Rasul dan menganggap sepele dan tidak mengakui eksistensi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kalau hal tersebut masih terjadi di dalam hati kita, apakah masih lebih tinggi amal ibadah kita dibandingkan dengan adab ? Wallahu‘alam. Memang Allah yang maha tahu segalanya dan memang Dialah yang berhak menentukan amal ibadah seseorang itu diterimaNya atau tidak.

Tanda-tanda alpanya adab.

            Tanda-tanda alpanya adab, sekurang-kurangnya ada tiga yakni, kezaliman, kebodohan dan kebutaan. Zalim adalah kebalikan adil artinya tidak dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya. Tidak bisa memahami dan menerapkan konsep secara proporsional. Artinya mencampur dua atau tiga konsep yang saling bertentangan, seperti misalnya mencampur keimanan dengan kemusyrikan. Mewarnai amal dengan kemaksiatan dan kesombongan. Tauhid dengan faham Liberalisme dan sebagainya.

            Bodoh dimaksudkan bukan jahil atau bukan untuk orang yang tidak pernah sekolah. Bukan itu maksudnya, tetapi Bodoh tentang cara mencapai tujuan. Karena tidak tahu tujuan hidupnya, seseorang menjadi bodoh tentang cara mencapainya. Anda bisa jadi pejabat asal mahir menjilat dan berkhianat. Anda bisa jadi selebriti asal mau “jual diri”. Korupsi, menipu, manipulasi dan sebagainya pun bisa menjadi cara untuk meniti karir. Itulah sebabnya mengapa Islam datang menawarkan jalan dan cara mencapai tujuan yang disebut syari’at.

            Buta artinya salah tujuan, salah menentukan arah dan tujuan hidup, salah arah perjuangan. Sepertinya buta mata dan buta hati. Pastilah akarnya adalah karena kebodohan. Yang bodoh akan arti hidup tidak akan tahu apa tujuan hidup. Yang jahil tentang arti ibadah tidak akan pernah tahu apa gunanya ibadah dalam kehidupan ini.

            Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah membangun adab berdasarkan pandangan dunia agama dengan rujukan Al-Qur’an. Jalan yang ditawarkan dan cara mencapai tujuan lebih mengedepankan nilai-nilai kerohanian dan kemanusiaan sesuai dengan aturan-aturan yang terkandung dalam Al-Qur’an. Adanya tanda-tanda kealpaan seperti yang saya sebutkan diatas, menunjukkan bahwa telah terjadi baik secara sadar atau tidak yaitu pengabaian terhadap norma-norma kehidupan yang telah digariskan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Sunnah Rasul.

Banyak Umat Islam sudah tidak peduli dengan aturan-aturan hukum Islam, lebih mengutamakan hukum ciptaan manusia. Kita ambil contoh tentang Pemimpin. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah dengan jelas melarang umat Muslim untuk tidak mengangkat Pemimpinnya dari golongan orang non Muslim.

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 51 yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.

Kemudian dilanjutkan lagi dalam surat Al-Maidah ayat 52 yang artinya :

“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana”. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka”.

            Sementara sanksi terhadap umat Muslim yang telah mengabaikan surat Al-Maidah ayat 51-52, disebut Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al-Maidah ayat 53 yang artinya : “Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: “Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?” Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi”.

Jelas bahwa bagi umat Islam yang memilih pemimpinnya dari umat Non Muslim, adalah tergolong kepada orang munafik, dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi sanksi yaitu rusak binasalah segala amal mereka dan mereka menjadi orang-orang yang merugi.

Tegakkan kembali Adab.

Kalau kita amati, ternyata masih banyak umat Islam tidak menjaga adab. Masih banyak umat Islam yang sanggup mengatakan bahwa Pemimpin Non Muslim itu masih lebih baik daripada Pemimpin Muslim dan mereka itu mengelu-elukan, memuji-muji, bahkan mengatakan Pemimpin Non Muslim tersebut sudah membantu mereka dan menyelamatkan mereka dari kesusahan dan kemiskinan ?

Mengapa para pemimpin republik kita ini mengaku Islam, masih bangga dengan konsep-konsep pinjaman dari luar Islam, mengapa kita hanya mampu menjustifikasi konsep-konsep asing dan tidak mampu membangun konsep sendiri ? Padahal konsep ekonomi Syari’ah misalnya, yang dicetuskan oleh para pakar ekonomi Islam adalah konsep yang sudah sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

Adalah tugas para ulama dan umaro’ untuk menumbuh kembangkan kembali peradaban Islam yang sudah memudar di Indonesia. Janganlah menjadi sebaliknya, menghancurkan peradaban Islam dengan cara memutar balikkan aturan-aturan Islam, demi jabatan, demi uang, demi pertemanan, demi toleransi beragama, demi gengsi, demi nama baik, dan demi-demi yang lain lagi.

Penutup.

            Dari uraian-uraian singkat tersebut diatas, begitu pentingnya masalah adab untuk diterapkan dalam diri setiap umat Islam. Gejolak-gejolak yang terjadi di negeri kita ini, tidak lain karena sebagian besar rakyat Indonesia sepertinya sudah kehilangan adab. Untuk itu marilah kita tanamkan masalah adab ini kepada anak cucu kita, kepada saudara-saudara kita, kepada umat Muslim, agar peradaban Islam kembali berjaya di negeri kita yang tercinta ini.

*) Penulis adalah Guru Besar Thariqat Naqsyabandiyah Jabal Qubis Tanjung Morawa, silsilah ke-36.